Search
Close this search box.

Stigmatisasi oleh masyarakat sering terjadi seiring munculnya wabah penyakit infeksi, seperti halnya COVID-19. Stigma ini diawali dengan perasaan takut dan khawatir tertular, yang menyebabkan munculnya pandangan negatif di tengah masyarakat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan COVID-19.

Sebut saja, penderita Covid-19 bahkan keluarganya telah diberikan label sebagai penyebar penyakit, lalu diikuti dengan sikap masyarakat yang menjauhi mereka. Tak hanya itu, mereka yang terkena virus Corona ini mengalami diskriminasi dalam beberapa hal, seperti penyewaan rumah, transportasi umum dan lainnya. Yang sangat disayangkan, pengalaman stigmatisasi ini juga dirasakan oleh tenaga kesehatan, terutama perawat, yang jelas-jelas telah berkorban untuk menolong di garda depan.

Sebuah survey yang dilakukan oleh peneliti dari Fakultas Ilmu Keperawatan UI bekerjasama dengan Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia di awal April 2020 kapada 2050 perawat se-Indonesia menunjukkan bahwa bahwa140 perawat pernah merasa dipermalukan oleh orang lain karena statusnya sebagai perawat COVID-19 atau bertugas di RS tempay penanganan COVID-19.

Survey ini juga menunjukkan sekitar 135 perawat pernah diminta meninggalkan tempat tinggalnya. Bentuk nyata penolakan yang dirasakan antara lain, ancaman pengusiran (66 responden), orang-orang disekitar menghindar dengan menutup pagar rumah/pintu mereka ketika melihat perawat (160 responden), dan masyarakat ikut menjauhi keluarga perawat (71 responden).

Survey ini membuktikan adanya penolakan terhadap perawat yang selama ini diberitakan media, seperti tidak diperbolehkan kembali ke tempat tinggal. Baru-baru saja seorang perawat di Jawa Tengah yang wafat ditolak jenazahnya untuk dikuburkan di tempat pemakaman umum. Sungguh suatu potret stigma yang sangat memilukan!.

Lebih lanjut, stigmatisasi tehadap perawat COVID-19 ini dapat menimbulkan masalah psikososial seperti stres, sedih, dan malu. Alih-alih merasa bangga menjadi pahlawan, banyak perawat justru memilih menyembunyikan status sebagai perawat. Perawat yang terkena stigma ini juga memikirkan bagaimana dampak buruk yang akan dihadapi keluarga dan orang-orang terdekat, karena mereka ikut diejek dan dijauhi.

Beban yang bertambah berat, padahal sehari-hari sudah harus bertugas dengan risiko yang sangat tinggi. Sementara itu, di negara-nagara lain, perawat sangat dielu-elukan sebagai pahlawan sampai Pemerintah Inggris menamakan Rumah Sakit untuk pelayanan COVID-19 menggunakan nama tokoh perawat yaitu Florence Nightingale. Dalam beberapa rekaman video yang beredar, tampak sedemikian berterimakasihnya dan bangganya masyarakat sekitar mengetahui ada tetangganya yang bertugas sebagai perawat yeang melayani COVID-19. Mereka kompak bersama-sama, memberikan salam hormat dan tepuk tangan melepas perawat yang akan bertugas. Adakah ini terjadi ditempat kita?

Lalu apa yang dapat diupayakan untuk menurunkan stigma ini? Patut disyukuri, sejak berita penolakan jenazah perawat mencuat, masyarakat pun menggeliat, Organisasi Profesi dan Organisasi lain terkait Keperawatan bergerak, tokoh dan politisi keperawatan ikut menuarakan pendapat, sampai akhirnya muncul pertanyaatan maaf dari pimpinan masyarakat yang menolak, serta disambut oleh dukungan dan ajakan Gubernur Jawa Tengah untuk menghentikan stigmatisasi pada perawat yang memberikan pelayanan kepada pasien COVID-19. Ini adalah sebuah contoh konkrit kerjasama berbagai pihak dalam menghadapi stigma sosial terkait COVID-19 yang menimpa perawat dan tenaga kesehatan lainnya.

Upaya diatas sejalan dengan rekomendasi WHO yang mengajak berbagai pihak termasuk pemerintah, organisasi profesi dan organisasi keperawatan lainnya, institusi pendidikan, tokoh masyarakat, media dan masyarakat itu sendiri. Semua ini adalah pihak-pihak penting yang dapat mencegah dan menghentikan stigma. Semua pihak perlu bijaksana ketika berkomunikasi di media sosial dan platform komunikasi lainnya, dan menunjukkan perilaku yang suportif/positif terkait COVID-19 serta tenaga kesehatannya. Beberapa contoh upaya yang dapat dilakukan antara lain:

(1) Menyebarkan fakta dan bukan mitos. Stigma dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana penyakit coronavirus baru ini (COVID-19) ditularkan dan diobati, serta dicegah.

(2) Melibatkan tokoh sosial seperti pemimpin agama untuk menyadarkan masyarakat tentang akibat serius dari stigmatisasi terhadap perawat dan tenaga keshatan lainnya, serta mengajak masyarakat untuk mendukung mereka. Bantuan selebriti yang disegani juga dapat dilakukan untuk memperkuat pesan untuk mengurangi stigma.

(3) Beritakan secara seimbang. Pelaporan media harus seimbang dan kontekstual, menyebarkan informasi berbasis bukti dan membantu memerangi desas-desus dan informasi yang salah yang dapat mengarah pada stigmatisasi.

(4) Membangun jaringan dukungan masyarakat untuk menunjukkan kepedulian dan empati untuk perawat dan tenaga kesehatan lain yang bertugas.

Akhir kata, mari kita hentikan stigma terkait COVID-19. Karena stigma dapat melukai semua orang dengan menciptakan ketakutan atau kemarahan terhadap orang lain yang seharusnya mendapatkan simpati. Mari kita lawan COVID 19 dengan saling mendukung, bersikap positif kepada sesama.

 

Sumber berita : https://www.industry.co.id/read/64184/penolakan-pemakaman-perawat-garda-depan-covid-19-potret-stigma-sosial-memilukan