Pencarian
Tutup kotak pencarian ini.

Peringatan 1 Mei sebagai hari buruh internasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan May Day sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi di lapangan Haymarket, Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1886. Peristiwa Haymarket sangat berkaitan dengan aksi mogok kerja yang sudah berlangsung pada April 1886.

Saat itu, kaum pekerja yang muak atas dominasi kelas borjuis telah mencapai puncaknya. Mereka mendesak pemerintah memberlakukan peraturan delapan jam kerja dalam sehari. Pada hari-hari berikutnya, jumlah buruh yang ikut aksi mogok makin bertambah. Para buruh saat itu membawa anak-anak serta istrinya untuk berdemonstrasi sambil meneriakkan tuntutan mereka.

Di Indonesia, penetapan hari buruh yang jatuh pada 1 Mei juga memiliki kisah panjang. Bahkan sempat mengalami perubahan beberapa kali. Hal itu terkait kondisi politik yang berkembang di masa itu.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, May Day diidentikkan dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya. Karena itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat ditiadakan. Selama masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya mogok kerja, meski tidak ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini. Pada masa itu pula, tuntutan buruh akan upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai disuarakan.

Aksi unjuk rasa ribuan buruh dan mahasiswa kembali dilakukan pada 1 Mei 2000. Ketika itu, para buruh menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan hari buruh dan hari libur nasional. Unjuk rasa yang disertai dengan mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah di Indonesia saat itu menimbulkan dampak negatif para pengusaha.

Sikap pemerintah tidak berubah hingga akhirnya pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan bahwa 1 Mei sebagai hari libur nasional bersamaan dengan perayaan hari buruh yang diperingati seluruh penduduk dunia.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyambut baik hal ini. Menurutnya, ini adalah kado dari Presiden untuk semua buruh di Indonesia. Secara terpisah Juru Bicara Presiden pada masa itu, Julian Aldrin Pasha, mengatakan penetapan 1 Mei sebagai hari libur nasional merupakan kejutan dari Presiden untuk semua buruh.

Pada peringatan tahun ini, terdapat tiga tuntutan utama para buruh yang tergabung dalam serikat pekerja Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Tuntutan itu adalah hapus outsourcing dan sistem magang, jaminan sosial pekerja, dan tolak upah murah (hosjatum).

Hosjatum merupakan isu lama yang dalam dua tahun terakhir kembali menguat. Terkait outsourcing dan magang, hanya ada lima jenis pekerjaan yang bisa diterapkan sistem itu bila merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19 Tahun 2012. Lima pekerjaan yang dimaksud adalah cleaning service, catering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan. Namun kenyataannya, banyak perusahaan penyedia jasa outsourcing menyediakan pekerjaan di luar lima bidang tersebut.

Sistem magang dengan cara kerja yang disamakan dengan karyawan pada umumnya juga dinilai tidak adil, terlebih mereka yang magang dibayar lebih kecil dengan beban yang sama dengan pekerja full time. Mengenai jaminan sosial, yakni agar jaminan kesehatan digratiskan dari iuran dan mengambil premi dari pajak. Selain itu, turut diminta perbaikan terhadap mekanisme rawat inap bagi peserta jaminan sosial yang masih belum baik. Sedangkan pada poin tolak upah murah, lebih menuntut pada penyetaraan upah rata-rata Indonesia yang masih kalah jauh dengan beberapa negara tetangga.

Sumber: http://www.kompas.com/

id_ID