Menjembatani Pengobatan Tradisional dan Modern: Mahasiswa FIK UI Dalami Pengalaman Lintas Budaya di Taiwan

Posted in:

31 July 2025

Dalam upaya memperluas wawasan global dan menjawab tantangan lokal di dunia kesehatan, 11 mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) mengikuti 2025 International Summer School yang diselenggarakan oleh College of Medicine, National Cheng Kung University (NCKU), Taiwan, pada 7–18 Juli 2025. Program ini menjadi ruang belajar lintas budaya yang mempertemukan mahasiswa dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Polandia, Republik Ceko, dan Indonesia, untuk menggali pemahaman mendalam tentang Traditional Chinese Medicine (TCM) dan integrasinya dalam sistem kesehatan modern.

Peserta dari FIK UI terdiri dari satu mahasiswa program Magister Ilmu Keperawatan, I Made Dyanta Anwar, dan sepuluh mahasiswa Sarjana Ilmu Keperawatan: Fadhil Armada, Asma Mufidah, Caroline Jayani Purba, Benedicta Clara Paul, Christy Amnov Beru Karo, Dewi Fauziah, Shafiyah Salwa, Nusaibah Muthmainnah, Dhiya Safira Jamila, dan Dewita Angelina.

Selama dua minggu, mereka menjalani rangkaian kegiatan yang tidak hanya memperkaya pengetahuan akademik, tetapi juga memberikan pengalaman budaya yang transformatif. Program mencakup kelas interaktif tentang sejarah pengobatan Tiongkok, praktik Taichi dan Qigong, pelatihan akupunktur, meracik obat herbal, serta kunjungan ke rumah sakit dan industri obat tradisional di Tainan.

Di Indonesia, kepercayaan terhadap pengobatan tradisional masih sangat tinggi, terutama di daerah pedesaan. Banyak masyarakat lebih memilih pengobatan herbal atau metode alternatif daripada layanan medis modern, baik karena alasan budaya, kepercayaan, maupun akses. Fenomena ini seringkali menimbulkan tantangan bagi tenaga kesehatan, terutama perawat komunitas, dalam memberikan layanan yang aman, ilmiah, dan tetap menghormati pilihan pasien.

“Saya sering melihat langsung bagaimana masyarakat enggan berobat ke fasilitas medis karena merasa lebih nyaman dengan pengobatan warisan leluhur,” ujar I Made Dyanta Anwar. “Namun, pendekatan yang menyalahkan atau mengabaikan pilihan tersebut justru bisa menghambat proses penyembuhan. Program ini memberi saya pemahaman bahwa kita perlu menjembatani dua pendekatan—tradisional dan modern—secara harmonis dan sensitif budaya.”

Taiwan menjadi contoh bagaimana pengobatan tradisional bisa diintegrasikan dalam sistem kesehatan nasional secara ilmiah dan terstandar. Melalui kunjungan ke rumah sakit seperti Tainan Hospital, Sinlau Hospital, serta perusahaan herbal seperti HPC Herbs Company dan Wu-Wang-Chun Incense Shop, mahasiswa melihat langsung bagaimana TCM dikelola dengan pendekatan evidence-based namun tetap mempertahankan nilai-nilai budaya.

“Salah satu profesor mengatakan bahwa ‘semakin canggih bukan berarti semakin baik’. Ungkapan itu membuka mata saya bahwa teknologi dan kemajuan medis harus tetap membumi, dekat dengan masyarakat, dan tidak menyingkirkan kearifan lokal,” lanjut Dyanta.

Program ini juga menekankan pentingnya perspektif lintas budaya dalam pelayanan kesehatan. Melalui interaksi dengan mahasiswa dari berbagai negara dan bimbingan langsung dari mahasiswa NCKU, peserta tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengasah kemampuan komunikasi, empati, dan kolaborasi dalam konteks multikultural.

“Kami tidak hanya belajar di kelas, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari. Pendamping lokal membantu kami memahami budaya Taiwan, cara belajar yang berbeda, dan lingkungan baru. Suasana inklusif dan ramah di kampus NCKU membuat kami merasa menjadi bagian dari komunitas, bukan hanya tamu,” kata Dyanta.

Keikutsertaan mahasiswa dalam program ini tidak lepas dari dukungan penuh FIK UI yang memfasilitasi proses seleksi, bimbingan akademik, hingga administrasi keberangkatan. Di bawah bimbingan Ns. Indah Permatasari, mahasiswa dipersiapkan dengan matang melalui penyusunan esai, proposal studi, dan pengurusan dokumen.

Ke depan, para peserta berkomitmen untuk membagikan pengalaman ini kepada komunitas FIK UI melalui seminar, forum mahasiswa, dan diskusi terbuka. Harapannya, semakin banyak mahasiswa yang terinspirasi untuk berpartisipasi dalam program internasional dan memperluas perspektif keperawatan yang lebih inklusif dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.

“Saya percaya bahwa pengalaman ini bukan hanya untuk saya, tapi untuk dibagikan. Semakin banyak perawat Indonesia yang memahami pentingnya pendekatan sensitif budaya, semakin besar dampak positif yang bisa kita berikan pada masyarakat,” tutup Dyanta.

Share this article:

en_US