Belajar dari Taiwan: Mahasiswa Keperawatan UI Menemukan Makna Pelayanan yang Lebih Manusiawi

Diposting di:

8 Agustus 2025

Di sebuah ruang diskusi kecil di Taipei, dua mahasiswa keperawatan dari Universitas Indonesia duduk berdampingan dengan rekan-rekan mereka dari Filipina dan Thailand. Di hadapan mereka, seorang dosen menjelaskan tentang sistem kesehatan Taiwan, sambil mempersilakan tiap negara membagikan praktik keperawatan di negeri masing-masing. Sesi itu bukan sekadar kelas—melainkan jendela besar yang terbuka menuju dunia baru: dunia pelayanan kesehatan lintas budaya.

Mahsa Nur Zahra dan Safira Putri Khoirunnisaa, mahasiswa semester dua Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI), berkesempatan menjadi delegasi dalam program pertukaran mahasiswa di Taipei Medical University. Bagi keduanya, ini bukan sekadar perjalanan belajar, tapi pengalaman transformatif yang membentuk cara pandang mereka sebagai calon perawat masa depan.
Melihat Dunia Lewat Lensa Keperawatan

Selama beberapa hari program, Mahsa dan Safira tidak hanya duduk di kelas. Mereka diajak menjelajahi rumah sakit-rumah sakit mitra Taipei Medical University, termasuk Shuang Ho Hospital dan Wan Fang Hospital, serta mengunjungi pusat perawatan pascapersalinan. Di sana, mereka menyaksikan langsung bagaimana sistem pelayanan kesehatan Taiwan dirancang dengan pendekatan yang menyeluruh—memadukan teknologi tinggi dengan perhatian personal yang dalam terhadap pasien.

“Salah satu yang paling membekas buat saya adalah bagaimana ibu-ibu pascamelahirkan dirawat. Tidak cuma secara fisik, tapi juga secara emosional. Ada ketenangan dan penghargaan terhadap proses menjadi ibu,” kenang Mahsa.

Bagi mereka, melihat bagaimana perawat di Taiwan bekerja bukan hanya soal membandingkan fasilitas, tapi juga memaknai ulang peran seorang perawat—bukan sekadar pelaksana medis, tapi pendamping manusia dalam proses penyembuhan.

Salah satu sesi yang paling dinanti adalah group discussion, di mana mahasiswa dari berbagai negara berbagi tentang sistem pelayanan kesehatan di negara masing-masing. Dari topik asuransi kesehatan, akses layanan primer, hingga budaya masyarakat dalam mencari pengobatan—semuanya dibahas hangat. Perbedaan bukan menjadi pemisah, melainkan bahan belajar yang membuka wawasan.

“Awalnya saya pikir sistem kita tertinggal jauh. Tapi setelah diskusi, saya sadar bahwa semua negara punya tantangan. Yang penting bukan siapa yang paling canggih, tapi bagaimana sistem itu menjawab kebutuhan masyarakatnya,” kata Safira.

Dari ruang diskusi itu, lahir kesadaran bahwa pelayanan kesehatan tak bisa dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan ekonomi sebuah negara. Dan sebagai calon perawat, memahami konteks adalah langkah pertama untuk memberikan pelayanan yang bermakna.

Program ditutup dengan presentasi akhir, refleksi, dan pemberian sertifikat. Namun, yang dibawa pulang oleh Mahsa dan Safira bukan hanya lembar penghargaan. Mereka pulang dengan pandangan baru: bahwa menjadi perawat bukan hanya tentang keterampilan, tetapi tentang kepekaan, adaptasi, dan keberanian untuk berpikir lintas batas.

Di tengah tantangan sistem kesehatan di Indonesia, pengalaman ini menjadi bekal penting. Bukan untuk meniru mentah-mentah apa yang dilihat di Taiwan, tetapi untuk memahami bahwa setiap sistem bisa dipelajari, dimodifikasi, dan diadaptasi sesuai kebutuhan lokal.

“Yang kami pelajari di Taiwan bukan jawaban. Tapi cara bertanya yang lebih baik. Dan itu jauh lebih berharga,” ujar Mahsa, menutup ceritanya.

Di balik baju praktik yang mereka kenakan dan catatan pelajaran yang mereka simpan, tersembunyi harapan: bahwa satu hari nanti, mereka akan kembali ke ruang-ruang pelayanan di Indonesia—bukan hanya dengan ilmu, tapi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan universal yang mereka petik dari seberang laut.

Bagikan artikel ini:

id_ID