Pencarian
Tutup kotak pencarian ini.

Prof Yani Part 1Pada Desember 2006, Profesor yang dimiliki FIK UI bertambah. Prof. Achir Yani Syuhaimie Hamid M.N., D.N.Sc. resmi menjadi profesor ke-2 di FIK UI dan sekaligus profesor pertama di bidang keperawatan jiwa. Prof. Yani, begitu beliau biasa dipanggil, ternyata sudah memiliki minat di dunia keperawatan sejak kecil. Saat itu, Prof. Yani kecil dirawat di rumah sakit karena typus. “Saya merasa seperti di rumah. Mereka bisa membuat saya merasa sangat nyaman. Sebagai anak-anak usia 9 tahun yang jauh dari orang tua, tidak bisa bermain, tapi mereka mampu membuat saya merasa nyaman. Dari situ saya merasa bahwa profesi keperawatan ini merupakan profesi yang mulia, yang mampu membuat anak-anak, walaupun jauh dari orang tuanya, tapi tetap merasa nyaman berada di rumah sakit,” ungkap Prof. Yani.

Setelah menghabiskan masa kecilnya di Palembang dan masa remaja di Lampung, Prof. Yani melanjutkan pendidikannya ke Akademi Keperawatan Depkes RI (sekarang Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta III) karena hanya itulah institusi pendidikan tinggi keperawatan yang saat itu ada di Indonesia. Begitu lulus dari Akper Depkes, Prof. Yani langsung direkrut menjadi dosen dan instruktur klinik di sana.

Ketika ditanya pengalaman yang tidak terlupakan ketika menjadi mahasiswa, Prof. Yani menjawab “terjadinya peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) tahun 1974.” Lebih lanjut, Prof. Yani menjelaskan kejadian tersebut berlangsung ketika beliau masih di tingkat 2 Akper Depkes tahun 1974 dan sedang dinas sore. “Saat itu mobil-mobil Jepang dibakar di depan RSCM, korban berdatangan dari tempat-tempat konflik, dengan segala macam bentuk luka,” kenang Prof. Yani. Melihat Prof. Yani yang masih mahasiswa dan belum pernah berhadapan dengan situasi krisis, salah satu dokter yang kebetulan sedang bertugas saat itu, dr. Pati, berpesan agar Prof. Yani tetap tinggal di balik gorden dan jangan keluar. Satu-satunya tugas yang diberikan kepada Prof. Yani adalah suntik ATS (anti tetanus). “Tapi kan saya tahu ada hiruk pikuk, masa saya biarin? Jadi saya keluar dan membantu. Saya bilang ke dr. Pati: saya tidak bisa hanya berada di dalam, saya ingin membantu,” ujar Prof. Yani. Walaupun kejadian tersebut sangat traumatis bagi beliau, Prof. Yani merasa perawat harus mampu melakukan apapun, harus berani dan siap dalam kondisi seburuk apapun.

Mengenai pilihan beliau untuk berkecimpung di bidang keperawatan jiwa, awalnya Prof. Yani ingin mengambil peminatan Gawat Darurat karena menantang, di sana keputusan harus diambil dengan cepat. Namun entah kenapa, beliau akhirnya memilih bidang trauma kepala. Di bidang trauma kepala beliau melihat bahwa masalah yang dihadapi bukan hanya hidup dan mati saja, tapi juga bagaimana dampak yang akan muncul jika tidak ditangani dengan baik oleh perawat. Prof. Yani mengungkapkan, “Perawatan saraf berhubungan dengan trauma kepala. Jadi perawatan sarafnya yang penting dan di situ saya merasa dibutuhkan asuhan keperawatan yang baik. Dia (pasien) seperti kelihatan tenang, tapi itu seperti menunggu masanya untuk kecacatan yang permanen, apabila tidak dirawat dengan baik.”

Saat itu, keperawatan jiwa masih sangat langka dan belum populer di Indonesia. Masih ada stigma yang melekat, tidak hanya pada pasien tapi juga pada perawat dan dokter jiwa. Tahun 1980 – 1981, Prof. Yani bersama Ibu Pipin Farida (dosen di Poltekkes Kemenkes Jakarta III) dan Prof. Budi Anna Keliat (Guru Besar FIK UI) diminta oleh Ibu Magdalena Mahdi, M.Sc. untuk mengikuti pelatihan mengenai keperawatan jiwa lanjut di RS Marzoeki Mahdi, Bogor. Dari situ beliau mulai tertarik mendalami keperawatan jiwa. “Menarik sekali ilmu keperawatan jiwa, memungkinkan kita transparan terhadap diri kita sendiri.  Mengenal kelebihan dan kekurangan diri, sehingga dapat menerima orang lain sebagaimana mereka adanya.  Tidak judgmental.  Semua perilaku ada alasan,” jelas Prof. Yani.

Tahun 1981 – 1983, Prof. Yani berangkat ke Filipina untuk mengambil Program Master dengan peminatan Mental Health Psyciatric Nursing. Setelah kembali dari Filipina, pada tahun 1984 Prof. Yani dan beberapa orang lainnya menyusun kurikulum untuk Program S1 Keperawatan. “Januari 1983 sudah ada lokakarya nasional tentang keperawatan sebagai profesi, sistem pendidikan tinggi keperawatan sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi nasional, sudah ada rencana untuk membangun pendidikan tinggi keperawatan sebagai pendidikan profesi. Sementara mereka yang memiliki gelar S2 keperawatan masih sangat sedikit,” kenang beliau. Tahun 1985 Program Studi Ilmu Keperawatan FKUI berdiri di bawah Fakultas Kedokteran dan Prof. Yani diminta oleh Alm. Prof. Ma’rifin Husin untuk menjadi Ketua PSIK FKUI.

Dari beberapa riset yang pernah dilakukan, Prof. Yani mengungkapkan ada satu riset yang sangat berkesan yaitu mengenai pola koping keluarga dengan anak tunagrahita. Menurut Prof. Yani, penting bagi masyarakat untuk tidak mengeneralisasi perasaan ibu-ibu yang memiliki anak tunagrahita. “Perasaan para ibu yang sama-sama memiliki anak tunagrahita, walaupun anak-anaknya sama-sama spesial, tapi mereka tetap merasa berbeda. Misalnya, perasaan ibu dengan anak down syndrome yang terlihat dari wajahnya dengan ibu yang punya anak tunagrahita namun sekilas tidak terlihat, itu beda,” jelas Prof. Yani.

Lebih lanjut, Prof. Yani mengungkapkan bahwa aspek agama dan spiritual juga sangat penting bagi keluarga dengan anak tunagrahita. Bahkan ada keluarga dengan tingkat spiritual yang tinggi menyampaikan “kami keluarga yang spesial dan hanya keluarga yang spesial akan dititipkan oleh Tuhan anak yang spesial.” Selain itu, koping keluarga tersebut dalam mengatasi masalah keberadaan anak tunagrahita juga sangat baik. Atas dasar itu, Prof. Yani mulai menulis tentang aspek spiritual dalam asuhan keperawatan. Fokus tulisan beliau adalah keluarga dengan kebutuhan khusus. Sekarang, Prof. Yani beralih ke topik riset mengenai keluarga dan bencana, yang menitikberatkan bagaimana ketangguhan keluarga tetap dipertahankan ketika mereka terkena bencana. Bagaimana praktik keperawatan terbaik untuk manajemen risiko bencana pada kesehatan, merupakan topik penelitian kolaboratif yang sedang diteliti oleh Prof. Yani dan Tim bersama mitranya dari University of Hyogo, Jepang.

Ikuti kelanjutan cerita Prof. Yani di Mengenal Lebih Dekat Profesor Yani (Part 2).

id_ID